Jumat, 29 Mei 2009

ANALISIS KONTEKS WACANA NOVEL BOING ANAK REMBULAN KARYA THOBARI HR
Abstrak
Novel Boing Anak Rembulan buah karya Thobari HR merupakan sebuah wacana. Untuk mengetahui secara global isi wacana, kita dapat melakukannya dengan menganalisis suatu konteks. Konteks tersebut dapat berupa konteks fisik (topik peristiwa, tindakan pelaku, dan tempat peristiwa), konteks epistemis, dan konteks sosial. Berdasarkan hal tersebut terdapat rumusan masalah yaitu bagaimanakah konteks fisik (topik peristiwa, tindakan pelaku, dan tempat peistiwa), epistemis, dan sosial yang terdapat dalam wacana novel “Boing Anak Rembulan” karya Thobari HR. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan koteks fisik topik peristiwa, tindakan pelaku, dan tempat peistiwa), epsitemis, dan sosial wacana novel “Boing Anak Rembulan” karya Thobari HR. Penelitian ini bersumber dari data tekstual novel Boing Anak Rembulan yang diterbitkan oleh Pustaka Yunior, karena itu wujud data tersebut adalah teks-teks yang berada di dalam novel. Dalam menganalisis data yang sudah diperoleh pada penelitian ini digunakan metode heuristik. Prosedur kerja metode heuristik adalah dengan merumuskan hipotesis-hepotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan data yang tersedia. Metode penyajian hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode informal.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapatnya konteks fisik (topik peristiwa, tindakan pelaku, dan tempat peistiwa) sosial, dan epistemis dalan novel Boing Anak Rembulan. Topik peristiwa novel ini adalah kisah hidup perjalanan seorang anak yang dilaluinya dengan sabar dan tabah. Tempat peristiwanya adalah di Dusun Semin, Jogja, Wonosari, Wonogiri, Jl Pramuka Kampung Rawasari, Jakarta, Tepi pantai pelabuhan Tanjung Priok, Pasar, musola dekat pasar, Halaman pasar dekat musola, Penjara Cipinang, Kios koran anak rembulan, Pasar Ancol, Rumah Pak Hartono, SD Negeri I, Rumah Ibu Widyastuti, RS Dr Cipto Jakarta. Tindakan pelaku dalam novel ini adalah tindakan dari tokoh-tokoh lain yang mempengaruhi tokoh aku (Boing). Konteks epistemis novel ini adalah awal kehidupan Boing yang sangat memilukan dan berakhir dengan kebahagiaan meskipun telah ditinggal orang tuanya, karena dia telah terbiasa hidup sendiri. Di dalam novel ini terdapat enam konteks sosial. Konteks sosial ini dapat dilihat dari tuturan-tuturan yang diungkapkan oleh penutur.

Kata Kunci: konteks, fisik, epistemis, sosial, wacana, novel
PENDAHULUAN
Bagian pendahuluan dalam penelitian ini berisi latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, dan pokok-pokok kajian penelitian.

Latar Belakang
Novel merupakan jenis karya sastra prosa yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Novel yang berasal dari bahasa Italia novella yang berarti sebuah barang baru yang kecil ketika membacanya memerlukan waktu yang berjam-jam bahkan dapat berhari-hari. Meskipun demikian, banyak orang yang masih suka dan rajin membaca novel, dengan alasan untuk hiburan dan memetik nilai-nilai moral dalam novel untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya, dengan novel Boing Anak Rembulan buah karya Thobari HR. Novel yang mengawali rangkaian dibukukannya kumpulan cerpil (cerita pilihan) yang pernah dimuat di tabloid Yunior ini, ditulis dengan menggunakan bahasa yang lugas, sehingga bahasanya sangat mudah untuk dipahami oleh masyarakat, baik anak kecil, dewasa, maupun orang tua. Hal ini disebabkan oleh penggunaan tuturan yang biasa dipakai oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari ketika mengungkapkan suatu pengalaman, kisah hidup, maupun permasalahan terhadap orang lain.
Buku novel Boing Anak Rembulan ini dapat dikategorikan sebagai suatu wacana. Wacana merupakan satuan kebahasaan yang unsurnya terlengkap, tersusun oleh kata, frase, kalimat, atau kalimat-kalimat, baik lisan maupun tulis yang membentuk suatu pengertian yang serasi dan terpadu, baik dalam pengertian maupun dalam manifestasi fonetisnya (Bambang Hartono 2000:18). Agar kita dapat memperoleh gambaran secara global tentang isi wacana, kita dapat melakukannya dengan cara menganalisis suatu konteks.
Konteks adalah segenap informasi yang berada di sekitar pemakaian bahasa, bahkan termasuk juga pemakaian bahasa yang ada di sekitarnya (Preston dalam Supardo 1988:46). Konteks mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam pemakaian bahasa karena semua pemakain bahasa mempunyai konteks. Dalam pemakaian bahasa, konteks dapat menentukan makna dan maksud suatu ujaran (Bambang Hartono 2000:18).
Menurut Syafi’I (1990:126) konteks meliputi konteks fisik (tempat terjadinya pemakaian bahasa, objek atau topik yang disajikan dalam peristiwa itu, dan tindakan pelaku dalam peristiwa itu), epsitemis, liguistik dan sosial. Berdasarkan Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan menganalisis secara tajam konteks wacana novel Boing Anak Rembulan karya Thobari HR yang meliputi konteks fisik, epistemis, dan sosial. Peneliti hanya mengambil ketiga jenis konteks tersebut karena dianggap sudah dapat mewakili keseluruhan isi wacana.

Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan pada penelitian ini adalah, bagaimanakah konteks fisik (tempat terjadinya pemakaian bahasa, objek atau topik yang disajikan dalam peristiwa itu, dan tindakan pelaku dalam peristiwa itu), konteks epistemis, dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana novel Boing Anak Rembulan karya Thobari HR?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan koteks fisik (tempat terjadinya pemakaian bahasa, objek atau topik yang disajikan dalam peristiwa itu, dan tindakan pelaku dalam peristiwa itu) , konteks epistemis, konteks sosial wacana novel Boing Anak Rembulan karya Thobari HR.

Pokok-pokok Kajian Penelitian
Dengan terungkapnya sejumlah konteks yang dikembangkan dalam wacana novel Boing Anak Rembulan akan diketahui beberapa hal-hal pokok penting dalam kajian penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
a. Analisis wacana novel dapat diketahui dengan cara menganalisis konteks fisik, epistemis, dan sosial.
b. Cara pengungkapan maksud yang beragam menunjukkan bahwa penulis novel mampu membuktikan bahwa bahasa indonesia produktif dan variatif. Pembuktian ini akan semakin memantapkan pada para peneliti bahasa bahwa bahasa indonesia mampu berkembang.

KAJIAN TEORITIS DAN LANDASAN TEORI
Kajian Teoritis
Penelitian mengenai analisis tentang konteks pada sebuah wacana selama ini telah banyak dilakukan oleh peneliti. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang relevan denagn penelitian ini dan dapat dijadikan sebagai kajian pustaka.
Penelitian oleh Mutia Naily dengan judul ”Analisis Wacana Puisi Kembang Sepasang Karya Joko Pinurbo (Analisis Konteks, Aspek Gramatikal, dan Leksikal) menunjukkan bahwa analisis konteks puisi ini mencakup analisis konteks sosial budaya yang menggunakan perumpamaan kembang sepasang unutk menggambarkan hubungan anak dan ibu, serta lelaki dan perempuan yang sangat manusiawi dan hakiki. Juga mencakup analisis konteks situasi, yang difokuskan pada konteks fisik yang meliputi tempat: pojok halaman, waktu :dari kembang sepasang mekar sampai menjadi layu, dan objek atau topik: kembang sepasang. Analisis gramatikalnya meliputi pengacuan (pengacuan persona, demonstratif: pronomina demonstratif tempat dan pronomina demonstratif waktu), pelesapan, dan konjungsi. Analisis aspek leksikal yang terdapat dalam puisi ini, meliputi repetisi (repetisi anafora, mesodiplosis, dan penuh), antonimi (oposisi kutub, hubungan, dan hirarkial), kolokasi, dan hiponimi.
Penelitian Suminto berjudul Analisis Wacana Iklan Televisi Royco Rasa Terasi (Pertemuan Tradisi dalam Kemasan Urbanisasi). Suminto menganalisis aspek gramatikal, leksikal, dan konteks situasional. Analisis konteks situasional ini meliputi tiga hal yaitu, (a) penutur: sang announcer berperan sebagai penutur dalam menampilakn iklan kepada khalayak; (b) topik: memperkenalkan produk bumbu masak yang terbuat dari terasi; (c) setting: suasana kampung.
Nanik Herawati dengan judul penelitiannya Analisis Wacana Syair Lagu Anak-Anak Karya A.T Mahmud Kajian Eksternal dan Internal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kajian ekternal ini diantaranya mencakup tentang konteks situasi yang meliputi konteks fisik, sosial, dan epistemis. Konteks fisik ini meliputi tempat terjadinya lagu ”Ambilkan Bulan” yang terjadi di luar rumah di tempat terbuka dengan langit yang cerah, sedangkan tempat terjadinya lagu ”Pelangi” adalah alam terbuka dan terjadi ketika setelah hujan turun dan cuaca kembali cerah. Alam bebas dengan pepohonan kemungkinan merupakan tempat burung benyanyi, yang secara fisik tidak digambarkan dalam teks lagu ”Burung Bernyanyi” Topik pembicaraan lagu ”Ambilkan Bulan” dan ”Pelangi” berdasarkan perilaku anak yang mengangumi keindahan alam, sedangkan topik ”Burung Bernyanyi” adalah mengenai suasana hati yang riang. Konteks sosial dalam lagu ”Ambilkan Bulan” memperlihatkan kenangan masa kanak-kanak A.T Mahmud, pada malam hari saat kan tidur dengan menggunakan lampu yang remang-remang, sehingga menjadikan bulan sbagai penerang. Lagu ”Pelangi” memperlihatkan peran pendidikan ,yang sejak kecil anak dididik untuk selalu mengagungkan Tuhan, sehingga membuat anak dekat dengan Tuhan, dan mencintai lingkungannya. Lagu ”Burung Bernyanyi” memperlihatkan suasana pedesaan dengan pepohonan yang rimbun yang memungkinkan tempat burung bernyanyi riang. Konteks epistemis pada ”Ambilkan Bulan”, adalah bahwa si penutur bercakap-cakap dengan ibunya tentang keindahan bulan. Dia menginginkan bulan tersebut dapat menerangi kamarnya yang gelap. Pada syair lagu ”Pelangi” dan ”Burung Bernyanyi” konteks epistemisnya tidak nyata, karena penutur hanya bertutur secara monolog.

Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. pengertian konteks;
b. pengertian wacana, dan;
c. pengertian novel.

a. Pengertian Konteks
Konteks adalah segenap informasi yang berada di sekitar pemakaian bahasa, bahkan termasuk juga pemakaian bahasa yang ada di sekitarnya (Preston dalam Supardo 1988:46). Oleh karena itu, hal-hal seperti situasi, jarak, tempat, dan sebagainya menurut Preston termasuk konteks pemakaian bahasa. Menurut Halliday dan Hasan (1992:6) konteks adalah teks yang menyertai teks itu. Teks yang menyertai teks itu menurutnya meliputi tidak hanya yang dilisankan dan ditulis, melainkan termasuk pula kejadian-kejadian yang nonverbal lainnya dan keseluruhan lingkungan teks itu.
Hymes (1964) yang kemudian dikutip Brown (1983) mengemukakan bahwa ciri-ciri konteks mencakupi: penutur, mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian.
Menurut Umum Bahasa Indonesia (1985:521) konteks adalah apa yang ada di depan atau di belakang (kata, kalimat, ucapan) yang membantu menentukan makna (kata, kalimat, ucapan, dsb).
Menurut Massofa dalam artikel yang berjudul Kajian Wacana Bahasa Indonesia, konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog, atau polilog). Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula.
Konteks adalah aspek-aspek linguistik fisik atau sosial yang kait-mengkait dengan ujaran tertentu. Konteks dapat juga dikatakan sebagai pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud dengan pembicara ( Kridalaksana, 1993: 121 ).
Konteks yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah jenis konteks menurut Syafi”i (1990:126) , yaitu: (1) konteks fisik, yaitu konteks pemakaian bahasa yang meliputi terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi (lokasi), objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi (topik), dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu; (2) konteks epistemis adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar; (3) konteks linguistik adalah konteks yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului atau mengikuti satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi; dan (4) konteks sosial merupakan relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan mendengar. Daalm penelitian ini, peneliti hanya menganalisis tiga konteks yaitu konteks fisik, epistemis, dan sosial. Peneliti hanya mengambil tiga knteks tersebut, karena dianggap sudah dapat mewakili isi dari wacana novel Boing Anak Rembulan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks merupakan sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud.

b. Wacana
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antar penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).

Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimat-kalimatnya disusun secara teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.
Menurut Harimurti (1984:204), wacana atau dalam bahasa Inggrisnya ialah discourse, wacana merupakan satuan bahasa yang lengkap, yaitu dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi ataupun terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku seri ensiklopedia dan sebagainya, paragraf, kalimat atau kalimat yang membawa amanat yang lengkap.
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat itu (Anton M. .Moeliono 1995:407). Dasar sebuah wacana ialah klausa atau kalimat yang menyatakan keutuhan pikiran. Wacana adalah unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dan dengan amanat yang lengkap dengan koherensi dan kohesi yang tinggi. Wacana utuh harus dipertimbangkan dari segi isi (informasi) yang koheren sedangkan sifat kohesifnya dipertimbangkan dari keruntutan unsur pendukungnya yaitu bentuk.
Menurut Asmah (1982:3) bahwa wacana tidak mempunyai satu-satu jenis kalimat yang berdiri secara utuh tanpa dipengaruhi oleh proses-proses kelahiran kalimat. Ini bermaksud bahawa kalimat yang selalu didapati dalam struktur dan sistem secara teratur. Asmah telah membedakan kalimat sistem dari ayat wacana. Kalimat sistem adalah kalimat atau tutur yang dikeluarkan dan diasingkan dari konteks wacana, sedangkan kalimat wacana yang juga disebut kalimat teks adalah kalimat yang betul-betul terdapat dalam wacana teks dan wacana lisan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, wacana didefenisikan sebagai: (1) ucapan, perkataan, tutur; (2) keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan; (3) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan utuh seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya.
Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. dalam bukunya “Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa” menyebutkan kata ‘wacana’ berasal dari bahasa Sansekerta vacana yang kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru yang berarti wacana; bicara; atau ucapan. Kata tersebut kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.

c. Novel
Salah satu karya sastra yang mengalami perkembangan pesat dewasa ini adalah novel. Novel menurut Soemarjo (1984:65) adalah cerita fiksi panjang yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan manusia, dalam hal ini seorang tokoh. Dalam The American College Dictionary (dalam Tarigan, 1985:164) dapat ditemukan bahwa novel merupakan suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh cerita di dalamnya, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam satu alur atau suatu keadaan yang agak kacau.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2000:555) bahwa novel adalah tulisan berupa karangan prosa yang panjang dan menceritakan sebuah kisah. Clara Reeve (dalam Wellek dan Warren, 1990:282) novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilkau yang nyata, pada jaman saat novel itu dianalisis. Dalam Tifa Penyair dan Daerahnya, Jassin memberikan pernyataan bahwa novel menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang yang luar biasa, karena dari kejadian itu terlahir suatu konflik, suatu pertikaian yang mengalahkan jurus nasib mereka (1985:75).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa novel merupakan suatu karya sastra yang mengisahkan sisi utuh kehidupan tokoh.


METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersumber dari data tekstual novel Boing Anak Rembulan karya Thobari HR yang diterbitkan oleh Pustaka Yunior cetakan pertama pada tahun 2002, karena itu wujud data tersebut adalah teks-teks yang berada di dalam novel tersebut. Adapun data-data tersebut berupa:
a. dialog antar tokoh;
b. pikiran tokoh tentang tokoh lain;
c. tindakan tokoh terhadap tokoh lain dan;
d. penggambaran suasana latar atau tokoh oleh pengarang.
Dalam menganalisis data dilakukan sejak awal penelitian dan berlanjut sampai penelitian ini selesai. Adapun untuk menganalisis data yang sudah diperoleh pada penelitian ini digunakan metode heuristik. Prosedur kerja metode heuristik adalah dengan merumuskan hipotesis-hepotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan data yang tersedia(Leech 1983:40-44). Jika hipotesis tidak teruji, dibuatlah hipotesis baru. Seluruh proses ini terus berulang sampai akhirnya tercapai suatu pemecahan masalah yaitu berupa hipotesis yang teruji kebenarannya.
Sesuai dengan metode analisis heuristik Leech, maka langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut.
1. Transkripsi data
2. Memilih data yang di dalamnya terdapat konteks fisik, epistemis, dan sosial dengan ebrpijak pada teori yang ada.
3. menentukan konteks fisik, epistemis, dan sosial yang terdapat dalam data.
4. Menyajikan hasil analisis data.
Penyajian hasil analisis ini berisi mengenai segala hal yang ditemukan dalam penelitian. Menurut Sudaryanto (1993:145) metode penyajian hasil analisis data dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan metode formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa. Metode penyajian hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode informal. Dengan menggunakan metode ini, penjelasan tentang kaidah menjadi lebih rinci dan terurai. Maka dari iu, rumusan yang tersaji relatif panjang. Pemilihan metode informal ini disesuaikan dengan karakter data yang memang tidak memerlukan adanya tanda-tanda atau lambang-lambang.

PEMBAHASAN
Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini, berikut dikemukakan hasil penelitan yang mencakupi konteks fisik (topik peristiwa, tindakan pelaku, dan tempat peristiwa), konteks epistemis, dan konteks sosial. Adapun temuan dan pembahasannya seperti berikut ini.

Konteks Fisik
Konteks fisik ini terdiri dari topik peristiwa, tindakan pelaku, dan tempat peistiwa. Berikut ini analisis aspek-aspek konteks fisik.
a. Topik Peristiwa
Topik peristiwa novel Boing Anak Rembulan ini adalah kisah perjalanan hidup seorang anak yang diijalaninya dengan penuh kesabaran dan ketabahan, meskipun dengan berbagai macam cobaan. Boing semasa hidupnya selalu mendapat kesulitan, tetapi kesulitan ini selalu diterimanya dengan hati yang sabar. Ketika lahir, dia tidak tahu ayahnya siapa. Kemudian diculik oleh Kusumo, yang ternyata Kusumo itu adalah ayahnya. Kusumo adalah penjahat kelas kakap, meskipun demikian Boing sangat disayang oleh Kusumo dan anak buahnya.
Pada suatu hari Boing diajak untuk melakukan tindak kejahatan di Pelabuhan Tanjung Priok, tetapi tindakan Bapaknya diketahui oleh polisi, sehingga bapaknya dan anak buahnya ditangkap oleh polisi. Dan Boing tidak, kemudian dia bertemu dengan Dado. Dan akhirnya nereka berteman, dan mencari uang dengan berjualan koran, dan membawakan belanjaan ibu-ibu yang belanja di pasar. Meskipun hidup Boing demikian, dia selalu berdoa kepada Allah agar menjadi anak yang baik dan dia tidak pernah mengeluh sedikitpun tentang hidupya. Sampai pada akhirnya dia diangkat sebagai anak oleh keluarga Pak Hartono. Karena keluarga Pak Hartono menganggap bahwa Boing adalah anak yang baik, selain itu Boing juga pernah menolong keluarga Hartono ketika tape recorder mobil yang dikendarai Bu Hartono yang saat itu sedang diparkir di dekat pasar diincar oleh pencuri. Boing lah yang menggagalkan niat pencuri tersebut. Setelah dianggap sebagai anak, dia disekolahkan. Dan setelah Pak Hartono tahu tentang latar belaakang Boing, keluarga Pak Hartono membantu Boing untuk mempertemukan Boing dengan keluarganya.
Akhirnya Boing dapat berkumpul dengan keluarganya, meski hanya dengan eyang Widyastuti (ibu dari bapaknya), dan ayahnya. Karena Ibu Boing menjadi TKW di Arab Saudi. Kemudian Bapak Boing meninggal akibat penyakit hepatitis. Setelah satu tahun tinggal di Jogja Boing mendapat kabar bahwa ibunya yang menjadi TKW meninggal di Arab Saudi. Meskipun begitu setiap selesai shalat dia selalu berdoa untuk kedua orang tuanya. Akhirnya Boing melanjutkan kehidupannya dengan Eyang Putri Widyastuti.

b. Tindakan Pelaku
Novel Boing Anak Rembulan ini mengisahkan tentang perjalanan hidup tokoh aku (Boing) yang lahir tanpa seorang bapak, yang kemudian hari diketahui bahwa bapaknya adalah Kusumo. Tindakan pelaku yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain yang mempengaruhi tokoh aku adalah orang-orang di sekitarnya, yaitu Suminten (Ibu Boing), Kusumo (Bapak Boing), Dado (teman Boing), Eyang Widyastuti (Ibu dari Kusumo), serta Pak Hartono dan Bu Hartono (Orang tua angkat Boing)
 Suminten: Orang yang melahirkan Boing. (Rabu pahing malam ketika bulan bersinar penuh lahir bayi laki-aki di dusun sunyi itu. Suminten yang semula ragu-ragu denagn kehadiran bayi itu, begitu menatap sosok laki-laki berkulit kuning, berhidung mancung, dan tampak gagah itu langsung jatuh hati, hal 12).
 Kusumo: Bapak Boing. Dia menculik Boing dari Suminten, dan membawanya ke Jakarta, sampai pada akhirnya Boing hidup sendiri karena Kusumo di penjara. (“Astahgfirullah halaziim…,” desis Sigit sambil mengelus dada. “Aku tertipu. Boing pasti diculik Kusumo ke Jakarta. Aduh, tega-teganya dia menipuku. Katanya hanya ketemu sebentar karena kangen, ternyata dia menculik,’’ gumamnya, hal 34. Mas Sigit, tolong turun di sini. Tunggu kami sebentar saja. Kami akan beli baju di toko itu” kata kuumo sambil menunjuk toko yang besar. Digandeng Pak Kusumo da Om Anton, aku menuju toko. Sambil menanyakan kepaa penjaga toko jalan keluar toko itu, kami bukannya belanjat tapi langsung keluar lewat pintu belakang. Sambil berjalan cepat, kedua orang secara bergantian menggendongku mencari jalan yang mungkin tidak diketahui Sigit, hal 33.)
 Dado: Teman Boing yang telah membantu Boing untuk mencari uang sendiri karena pada waktu itu Boing di Jakarta yang kemudian berpisah dengan bapaknya (“Baik, kalau begitu. Sekarang kalau mau ikut cari sarapan, cari kertas bekas di tong sampah,” Ajak Dado lagi, hal 52. Kami juga mendapat uang tambahan kalau ada orang yang minta tolong membawakan barang belanjaan di pasar, hal 54). Dado juga telah membuat Boing lebih mengerti arti sebuah hidup (Setelah cukup lama bergaul dengan Dado, aku jadi tambah pengalaman dan mendalami arti hidup, hal 54). Selain itu dia telah menolong Boing (Dado mau menolongku karena dia merasa hidup sendirian di Jakarta, hal 54).
 Pak Hartono dan bu Hartono: Orang tua angkat Boing. (Sekarang aku resmi jadi anak angkat Pak Hartono dan Bu Hartono, hal 103). Mereka juga telah mempertemukan Boing dengan keluarganya. (“Mbak Suminten, kedatangan kami ke Semin pertama silaturahmi, kedua saya ingin mempertemukan Boing dan ibunya terutama memintakan maaf Pak Kusumo atas perbuatan-perbuatannya pada masa lampau, termasuk ketika awalnya membuat Mbak Suminten marah, kemudia menculik Boing. Dia sedang sakit keras di Jakarta” kata Pak Hartono. Hal 130). Selain itu mereka juga telah menyekolahkan Boing. (Sulit mencari orang sebaik kelurga Pak Hartono. Di Jakarta. Yang serba individualis jarang ada yang mau memikirkan nasib orang lain. Apalagi ada orang yang ingin menyekolahkan anak jalanan. Padahal pemerintah sudah menganjurkan agar keluarga-keluarga mampu dapat membentu anak miskin agar menikmati pendidikan melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh/GNOTA, hal 104).
 Eyang Widyastuti (Ibu dari Kusumo): Orang yang telah menyekolahkan Boing sewaktu Boing baru pindah dari Jakarta (Seminggu setelah kematian Bapak, Eyang mencarikan sekolah untukku, hal 147) dan memberikan seluruh warisannya untuk Boing (Di notaris aku diminta menandatangi surat penyerahan seluruh warisan Eyang Kakung dan Eyang Putri, hal 147. “Boing, mulai hari ini kamu satu-satunya cucuku dan menjadi pewaris seluruh kekayaan Eyang Kakung dan Eyang Putri kalau nanti Eyang sudah meninggal. Jadi, ini daftar kekayaan yang ada. Sementara Eyang simpan, dan nanti kalau Eyang sudah meninggal, semua ini milikmu” tegas Eyang, hal 147).

c. Tempat Peristiwa
Tempat terjadinya peristiwa dalam novel ini adalah:
 Dusun Semin Kabupaten Gunungkidul, yang merupakan tempat Boing dilahirkan (Kisah bermula dari Dusun Semin, nun jauh di Kabupaten Gunungkidul bagian timur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. di sanalah aku dilahirkan, hal 3), tempat tinggal Boing, ibu, beserta neneknya (Dusunku ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, hal 5. Di Semin hampir separo jumlah wanitanya cantik-cantik, termasuk ibuku, hal 6. Nenek juga bercerita, dusunnya sering dijadikan tempat singgah para priyayi keraton, hal 6), pertemuan antara Boing dengan ibu dan neneknya setelah bertahun-tahun tidak bertemu (“Mbak Suminten, kedatangan kami ke Semin pertama silaturahmi, kedua saya ingin mempertemukan Boing dan ibunya terutama memintakan maaf Pak Kusumo atas perbuatan-perbuatannya pada masa lampau, termasuk ketika awalnya membuat Mbak Suminten marah, kemudia menculik Boing. Dia sedang sakit keras di Jakarta” kata Pak Hartono hal 130).
 Jogja : Tempat Suminten bekerja sebagai pembantu (Suminten, yang tidak sempat menamatkan sekolah dasar (SD), memberanikan diri meninggalkan desa menjadi pembantu rumah tangga di Jogja, hal 7).
 Wonosari: Tempat Boing dilarikan dari Wonosari untuk dibawa ke Jakarta oleh Kusumo dan Anton (Sigit yang memegang setir tenang saja karena gembira dapat mengajak sahabat-sahabatnya keliling melihat kota Wonosari. “Mas Sigit, tolong turun di sini. Tunggu kami sebentar saja. Kami akan beli baju di toko itu” kata kuumo sambil menunjuk toko yang besar. Digandeng Pak Kusumo da Om Anton, aku menuju toko. Sambil menanyakan kepaa penjaga toko jalan keluar toko itu, kami bukannya belanja tapi langsung keluar lewat pintu belakang. Sambil berjalan cepat, kedua orang secara bergantian menggendongku mencari jalan yang mungkin tidak diketahui Sigit, hal 33).
 Wonogiri: tempat Boing, Kusumo, dan Anton beristirahat setelah mereka berjalan kaki selama setengah jam. (Di Wonogiri kami bertiga istirahat di sebuah warung makan, hal 35)
 Jl Pramuka, Kampung Rawasari, Jakarta: tempat Boing dan bapaknya Kusumo tinggal (selama di Jakarta aku sudah pindah tempat lima kali. Yang terakhir, agak lama kami menempati rumah kontrakan di sekitar Jl Pramuka, Kampung Rawasari, hal 38).
 Tepi pantai pelabuhan Tanjung Priok: Tempat Boing membantu bapaknya untuk menunggu lemparan tas (“Mengambil tas yang tertinggal di sebuah kapal di Pelabuhan Tanjung Priok” jawab Pak Salim, hal 45. “Tiga orang naik perahu kecil itu, dua orang mengawasi dari darat, dan satu orang coba masuk kapal lewat pintu resmi. Boing berdiri saja di tepi pantai ini menunggu lemparan tas, kemudian membawa tas ke gudang itu!” demikian instruksi bapakku selaku komandan, hal 46).
 Pinggiran kios dekat pelabuhan: Tempat Boing menunggu bapaknya yang kemudian bertemu Dado (Aku tunggu berjam-jam Bapak tidak juga datang. Aku kedinginan dan berjalan menuju tempat yang terlindung. Akhirnya aku tertidur di pinggiran kios dekat pelabuhan hal 50) tiba-tiba ada seorang anak sebaya denganku menyapa ramah. Kami berkenalan. Dado namanya, hal 51).
 Pasar: Tempat Boing mencari uang (Ah, daripada menunggu dan termangu terlalu lama, aku ingin menjual jasa dengan membawakan barang ibu-ibu yang belanja di pasar, hal 62).
 Musola dekat pasar: Tempat Boing mengaji (Dari pergaulan dengan Dado dan ikut pengajian dekat pasar, aku makin bertambah ilmu. Pengajian di musola itu memang khusus untuk anak-anak gelandangan seperti aku dan Dado, hal 54).
 Halaman pasar dekat musola : Tempat Boing dan teman-temannya istirahat (setelah shalat Isya kami tidur sepeti biasanya di halaman pasar dekat musola, hal 56).
 Penjara Cipinang: Tempat Bapak Boing dipenjara dan setelah Boing tahu bapaknya dipenjara di Cipinang dia menenoknya (Akhirnya aku dapat informasi, penjara Bapakku ada di Cipinang, hal 69. Setelah mendaftar di bagian penjagaan rumah tahanan, kami menyerahkan roti untuk diperiksa. Mungkin itu demi keamanan. Setelah itu, penjaga mempersilahkan aku menunggu untuk dipanggilkan narapidana yang bernama Kusumo, hal 78).
 Kios Koran anak rembulan, Pasar Ancol: Tempat Boing dan teman-temannya berjulan Koran. (sudah dua bulan kami membuka kios Koran Anak Rembulan di Pasar Ancol, hal 77).
 Rumah Pak Hartono: Tempat tinggal Boing setelah diangkat sebagai anak oleh keluarga Pak Hartono (Sekarang aku tinggal di rumah Pak Hartono dan resmi menjadi anak angkat Pak Hartono, hal 103).
 SD Negeri I: Tempat Boing sekolah ketika setelah diangkat anak oleh keluarga Pak Hartono (Tiba saatnya aku akan memasuki hari pertama sekolah di SD Negeri I, yang tidak jauh dari rumah Pak Hartono, hal 105).
 Rumah ibu Widyastuti: Tempat tinggal eyang Boing Widyastuti, Boing, dan Bapaknya. (Kami dipersilahkan duduk di ruang tamu rumah ibu Widyastuti, sambil menunggu Ibu Widyastuti yang sedang dipanggilkan lelali tua itu, hal 121. Sampailah kami di Yogya, di rumah Eyang Widyastuti, aku dan bapakku akan tinggal, hal 145).
 RS Dr Cipto, Jakarta: Tempat bapak Boing dirawat karena menderita hepatitis. (“Bu, saya tahu banyak tentang putra ibu. Saat ini sia membutuhkan pertolongan karena sedang drawat di RS Dr Cipto Jakarta akibat hepatitis…,” kata Pak Hartono, hal 122).
KONTEKS EPISTEMIS
Kehidupan Boing yang lahir tanpa seorang Bapak, kemudian tinggal di Dusun Semin, dusun yang miskin. Setelah berumur 9 tahun Boing diculik oleh Kusumo yang ternyata adalah bapaknya sendiri. Di Jakarta dia hidup bersama bapaknya, tetapi setelah dia berpisah dnegan bapaknya karena melakukan tindak kejahatan, Boing akhirnya bertemu dengan Dodo. Dengan Dodo dan teman-temannya, dia mencari uang denagn cara berjualan Koran, dan membawakan barang-barnag belanjaan ibu-ibu di pasar Tanjung priuk.
Setelah dua tahun berpisah dengan bapaknya, dia mendapat informasi di mana bapaknya berada. Kini bapaknya berada di penjara Cipinang. Kemudian Boing dan Dodo menjenguknya. karena Boing pernah menggagalkan niat pencuri untuk mencuri tape recorder yang ada di mobil seorang ibu ketika sedang belanja di pasar Atanjung Priok, Boing akhirna diangkat menjadi anak dari keluarga ibu tersebut. Pak Hartono, suami ibu tersebut. Karena terbukti tidak bersalah, akhirna bapaknya Boing dibebaskan. Pak Hartono, menyekolahkan Boing dan membantu menyatukan keluarga Boing. Setelah menjenguk Kusumo, ayah Boing di rumah sakit Dr. Cipto, Pak Hartono dan boing pergi ke Yogyakarta, untuk memberitahu ibunya Kusumo, Widyastuti, tentang peristiwa yang dialami Kusumo, dan menjenguk ibu dan nenek Boing yang tinggal di Semin, dan ternyata Ibu Boing, Suminten akan pergi ke Arab Saudi. Setelah satu hari di yogya, Boing, Pak Hartono, dan Ibu Widyastuti pergi ke Jakarta.
Di Jakarta, Boing berpisah dengan teman-temannya, dan keluarga pak Hartono. Boing, bapak Boing, dan eyang Widyastuti akhirnya pulang ke Jogja. Sesampai tiba di rumah eyang Widyastuti, di Jogja sakit bapak Boing semakin menjadi-jadi, dan akhirnya meninggal ketika sedang perjalanan menuju rumah sakit Panti Rapih. Tak berapa lama kemudian, Boing mendapat kabar, kalau ibunya juga meninggal secara misterius di Arab Saudi. Setelah ditinggal orang tuanya Boing tetap tegar dalam emnjalani hidupnya, ini disebabkan oleh Boing yang biasa hidup mandiri.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa konteks epistemis novel ini adalah awal kehidupan Boing yang sangat memilukan dan berakhir dengan kebahagiaan meskipun telah ditinggal orang tuanya, tetapi dia cukup tegar dalam menghadapinya, karena telah terbiasa hidup sendiri.

KONTEKS SOSIAL
Konteks sosial ini dapat dilihat dari tuturan-tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Konteks sosial yang terdapat dalam novel ini adalah sebagai berikut.
 Setelah Suminten dinodai oleh Kusumo, akhirnya dia pulang ke kampung. Suminten tidak cerita kepada siapa-siapa tentang peristiwa yang telah dialaminya. Dalam kegiatan sosial ini pristiwa tersebut adalah hal yang memalukan, karena secara tidak langsung akan berpengaruh buruk pada relasi sosial dengan orang-orang di sekitarnya. Di sini Suminten tetap berkeinginan untuk menjaga relasi sosial dengan orang di sekitarnya. (Suminten tidak cerita kepada siapa-siapa mengenai peristiwa yang dialaminya, termasuk kepada majikannya. Sampai akhirnya majikan yang baik hati itu kaget tiba-tiba Suminten minta pulang kampung, hal 8)
 Boing lahir dari rahim Suminten tanpa seorang bapak, karena Suminten dulunya dinodai oleh Kusumo (Suminten ternyata tidak pulang sendirian. Dalam tubuhnya ada benih kehidupan. Suminten tahu persis laki-laki yang menodai dirinya, hal 9). Tetapi pada waktu itu keluarga Kusumo terutama ayahnya menentang apabila Kusumo mengawini Suminten, karena menurut ayah Kusumo, hal ini akan membuat malu keluarganya, apalagi Suminten hanyalah seorang pembantu (Bahkan Kusumo saat minta orang taunya mendatangi rumah Suminten di Dusun Semin untuk minta maaf dan dia bersedia mengawini wanita itu. Namun hal itu ditolak ayah Kusumo. “Kamu mau mengawini pembantu? Jangan begitu Kusumo. Kita ni keluarga terhormat dan berpengaruh, masak punya menantu pembantu?” tegas Ayah Kusumo, hal 16). Dalam kegiatan sosial ini adalah satu hal yang cukup memalukan, karena secara tidak langsung akan berpengaruh buruk pada relasi sosial dengan orang-orang di sekitarnya, terutama ayah Kusumo. Di sini ayah Kusumo tidak berkinginan agar Kusumo mengawini Suminten karena agar relasi sosial tetap terjaga.
 Boing yang suka bergaul dengan siapa saja, membuat orang-orang yang mengenalnya sangat menyukai dia. Selain itu Boing adalah anak yang baik. Dalam kegiatan sosial ini, adalah hal yang menyenangkan bagi Boing, meskipun dengan latar belakang kehidupannya yang tragis, banyak orang-orang yang mau bergaul dengannya. Di sini Boing ingin menjadi anak yang selalu baik agar relasi sosial dengan orang-orang disekitarnya tetap terjaga.
 Kusumo meskipun dia penjahat kelas kakap (bahkan aku tidak tau bahwa ayahku penjahat kelas kakap, hal 38), ketika bergaul dengan warga di sekitar rumahnya dia bersikap baik (bapakku juga banyak teman, baik tetangga maupun yang sering pergi bersama. Sikap bapakku terhadap tetangga sangat baik. Dia sering mengikuti pertemuan warga, juga rajin membayar iuran, dan membantu kalau ada yang kesusahan. hal 39). Kegiatan sosial ini adalah untuk menjaga privasi kehidupan Kusumo sebagai penjahat agar tidak diketahui oleh warga di sekitarnya. Jadi, di sini Kusumo menginginkan agar dia tetap menjaga hubungan baik dengan para tetangganya.
 Sigit teman lama Kusumo menyesal saat mempertemukan Boing dengan Kusumo. Karena waktu itu Sigit hanya ingin menolong temannya. Tetapi ternyata Boing diculik oleh Kusumo. Dengan peristiwa tersebut, kegiatan sosial ini adalah adaya relasi sosial yang ingin tetap terjaga dengan baik. (Sigit pun tidak curiga bahwa Kusumo berniat menculik Boing dan membawanya ke Jakarta. Merasa ingin menolong teman dan mungkin ada harapan kalau Suminten bisa dijadikan istri Kusumo, Sigit pun pergi juga ke rumah Suminten, hal 30).
 Dado adalah seorang anak jalanan. Ketika dia bertemu dengan Boing, dia mengajak Boing untuk mencari uang bersama, dengan mencari kertas di tong sampah, berjualan koran, dan menjual jasa dengan membawakan tas-tas belanja ibu-ibu yang baru belanja di pasar. Karena merasa senasib denagn Boing, dia berteman baik dengan Boing. Bahkan dia suka menolong Boing apabila mendapat kesusahan. Tidak hanya boing saja yang ditolongnya, teman-temannya pun sering ditolongnya (Dado mau menolongku karena dai merasa hidup sendirian di Jakarta, hal 54). Kegiatan sosial ini adalah untuk menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang di sekitarnya. Dalam hal ini Dado ingin menjadi orang yang selalu baik, yang dapat menolong teman-temannya. (“Alhamdulillah … aku diberi Allah SWT teman yang sangat baik… sangat baik. Jika aku tidak mengenal Dado, mugkin aku akan mewarisi pekerjaan ayahku sebagai preman,” pikirku dalam hati, hal 56).
 Pak Hartono dan Bu Hartono adalah orang tua angkat Boing. Mereka menyekolahkan Boing dan mempertemukan Boing untuk bertemu dengan keluarganya (“Mbak Suminten, kedatangan kami ke Semin pertama silaturahmi, kedua saya ingin mempertemukan Boing dan ibunya terutama memintakan maaf Pak Kusumo atas perbuatan-perbuatannya pada masa lampau, termasuk ketika awalnya membuat Mbak Suminten marah, kemudia menculik Boing. Dia sedang sakit keras di Jakarta” kata Pak Hartono. Hal 130). Mereka juga menjadi GNOTA untuk membantu anak-anak jalanan agar sekolah. Dalam kehidupan sosial ini adalah suatu hal yang sangat baik, karena akan berpengaruh terhadap hubungan sosial dengan orang-orang yang di sekitarnya. Di sini Pak Hartono dan Bu Hartono sangat berkeinginan untuk menolong orang-orang, khususnya orang yang tidak mampu karena agar hubungan sosial tetap terjaga. (Sulit mencari orang sebaik kelurga Pak Hartono. Di Jakarta. Yang serba individualis jarang ada yang mau memikirkan nasib orang lain. Apalagi ada orang yang ingin menyekolahkan anak jalanan. Padahal pemerintah sudah menganjurkan agar keluarga-keluarga mampu dapat membentu anak miskin agar menikmati pendidiakn melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh/GNOTA, hal 104).
 Ibu Widyastuti (ibu kandung Kusumo) dahulunya menginkan Kusumo untuk tetap menikahi Suminten (Namun di balik semua itu, ada yang tak bisa dilupakan begitu saja. Raden Ayu Widyastuti, Ibu Kusumo, adalah wanita yang sangat peduli pada semua itu. Dia tidak setuju suaminya melupakan begitu saja perbuatan anaknya terhadap Suminten, hal 16). Tetapi karena suaminya yang bersikap keras, dia mengikuti kemauan suaminya. Tetapi setelah bertemu dengan Boing, cucunya dia sangat sayang pada Boing. Dalam hal ini Ibu Widyastuti ingin tetap menjaga hubungan baik dengan Boing.

SIMPULAN
Novel Boing Anak Rembulan adalah novel karya Thobari HR. Novel ini merupakan rangkaian awal dibukukannya kumpulan cerita pilihan yang pernah dimuat di tabloid Yunior. Dengan pemakaian bahasa yang lugas, membuat orang mudah memahami isi novel tersebut. Analisis konteks novel ini mencakup konteks fisik, konteks epistemis, dan konteks sosial.
Konteks fisik ini meliputi tampat terjadinya pristiwa, topik, dan tindakan pelaku. Tempat terjadinya peristiwa yang terdapat di dalam novel ini adalah di Dusun Semin, Jogja, Wonosari, Wonogiri, Jl Pramuka Kampung Rawasari, Jakarta, Tepi pantai pelabuhan Tanjung Priok, Pasar, Musola dekat pasar, Halaman pasar dekat musola, Penjara Cipinang, Kios koran anak rembulan, Pasar Ancol, Rumah Pak Hartono, SD Negeri I, Rumah ibu Widyastuti, dan RS Dr Cipto Jakarta.
Topik novel ini adalah kisah tentang perjalanan hidup seorang anak yang diijalaninya dengan penuh kesabaran dan ketabahan, meskipun dengan berbagai macam cobaan.
Tindakan pelaku dalam novel ini adalah tindakan dari tokoh-tokoh lain yang mempengaruhi tokoh aku (Boing). Konteks epistemis novel ini adalah awal kehidupan Boing yang sangat memilukan dan berakhir dengan kebahagiaan meskipun telah ditinggal orang tuanya, karena dia telah terbiasa hidup sendiri. Di dalam novel ini terdapat enam konteks sosial.







DAFTAR PUSTAKA

Baryadi, I. Praptomo. 2003. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Jakarta: Pustaka Gondho Suli.

Depdiknas. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Hartono, Bambang. 2000. Hand Out Kajian Wacana Bahasa Indonesia. FBS UNNES.

HR, Thobari. 2002. Boing Anak Rembulan. Semarang: Pustaka Yunior.

http://elsani.wordpress.com/2007/09/25/analisis-wacana/ 4 Juni 2008, jam 09.34 wib.

http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia/ 4 Juni 2008, jam 09.48 wib.

http://www.apfi-pppsi.com/cadence19/pedagog19-2.html 4 Juni 2008, jam 10.08 wib.

Jassin, H.B. 1965. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1994. Jakarta.

Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Poerwadarminta. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Siminto, dkk. 2004. Analisis Wacana. Surakarta: Pakar Raya.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sumardjo, Yakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogya: Nur Cahaya.

Tarigan, H.G. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
__________ . 1993. Pengajaran wacana. Bandung: Angkasa.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

LAMPIRAN
Sinopsis novel Boing Anak Rembulan karya Thobari HR.

Boing Anak Rembulan

Namaku Boing. Konon aku diberi nama itu karena lahir pada hari Rebo Pahing. Aku bersekolah di sebuah SLTP di Jogja. Aku ingin menceritakan hidupku yang sulit dipahami oleh orang lain, bahkan oleh diriku sendiri. Kisah bermula dari Dusun Semin, di kabupaten Gunungkidul, bagian timur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sanalah aku dilahirkan.
Suminten adalah nama ibuku, karena tidak sempat menamatkan SD, Suminten memberanikan diri menjadi rumah tangga di Jogja. Setelah satu tahun menjadi pembantu, ketika sedang belanja di pasar, dia dicegat pemuda kemudian dibawa ke sebuah tempat dan dinodai oleh pemuda tersebut. Suminten tidak cerita kepada siapa-siapa tentang peristiwa yang dialaminya. Setelah kejadian tersebut, majikan Suminten yang baik hati itu kaget karena tiba-tiba Suminten minta pulang ke kampung. Suminten tahu persis laki-laki yang telah menodainya, dia adalah Kusumo. Ketika kandungan Suminten menginjak usia delapan bulan, ibu Suminten baru mengetahuinya.
Rabu pahing malam ketika bulan bersinar penuh lahir bayi laki-laki di dusun sunyi itu. Suminten dan ibunya memberi nama aku Boing. Aku harus lahir dari suasana yang memilukan, karena aku lahir tanpa seorang bapak.
Kusumo adalah anak tunggal pejabat penting di Jogja, tetapi di telah diusir dari rumah oleh orang tuanya karena banyak perbuatannya yang memalukan keluarga, termasuk menodai Suminten. Ayah Kusumo, tidak mengijinkan Kusumo untuk mengawini Suminten yang seorang pembantu, karena hal ini dianggap akan membuat malu keluarganya. Tetapi ibu Kusumo menginginkan kalau Kusumo menikahi Suminten, karena menurutnya suatu saat kejahatan anaknya akan terungkap juga walaupun ditutup-tutupi. Meskipun begitu, ibu Kusumo akhirnya menuruti suaminya.

Suatu hari Kusumo terserang gejala tifus. Oleh anggota geng, dia ditawari berobat ke rumah sakit, tetapi dia menolaknya. Ketika sakit Kusumo teus mengingau ingin dimintakan maaf kepada Suminten, dia juga minta dipertemukan dengan anaknya. Kusumo memang terbiasa mengambil jalan pintas. Akhirnya dia dan Anton, mendatangi rumah Sigit, teman lamanya untuk dipertemukan dengan aku, dengan alasan ingin mengajak Boing untuk jalan-jalan. Ketika jalan-jalan Kusumo dan Anton membawa aku ke sebuah toko baju, dan Sigit ditinggal di mobil. Karena sudah lama di toko, akhirnya Sigit menyusul mereka, tetapi mereka telah kabur dengan membawa aku.
Di Jakarta aku dipaksa menjalani hdup yang jauh berbeda di Semin. Pada usia hampir sembilan tahun, aku harus bergabung dengan kehidupan keras sebuh geng. Waktu itu aku tidak tahu tentang geng, dan tentang bapakku, Kusumo yang ternyata penjahat kelas kakap. Kini usiaku sudah menginjak sepuluh tahun. Selama di Jakarta aku sudah pindah tempat tinggal sebanyak lima kali. Bapakku memang belum pernah berterus terang kepadaku tentang pekerjaannya. Anak buahnya juga dilarang memberi tahu kepadaku mengenai pekerjaan itu. Bapak sangat sayang sama aku.
Suatu ketika bapakku diminta untuk mengambil tas yang tertinggal di sebuah kapal Pelabuhan Tanjung Priok dengan imbalan lima juta. Esok harinya pekerjaan itu dilaksanakan, tiga orang mengawasi perahu kecil, dua orang mengawasi dari darat, satu orang masuk kaapl lewat pintu resmi, dan aku berdiri di tepi pantai, untuk menunggu lemparan tas, kemudian membawanya ke sebuah gudang. Setelah aku tunggu berjam-jam Bapak tidak juga datang. Akhirnya aku tertidur di pinggiran kios dekat pelabuhan. Sampai matahari bersinar, bapak belum mencariku. Akhirnya aku bertemu dengan Dado anak jalanan. Ketika itu aku dan Dado sedang mencari kertas untuk ditukar denagn uang untuk membeli makan, Dado menemukan sebuah koran Pos Kota. Kemudian dia membaca keras berita tentang tertangkapnya penjahat kelas kakap yang dipimpin oleh Kusumo, anehnya barang yang telah dijarahnya hilang. Aku berkipir, kalau yang tertangkap adalah bapakku.

Selama bersama Dado, aku dapat merasakan arti sebuah hidup, karena aku, Dado bersama teman-teman lainnya mencari uang sendiri untuk makan. Uang tersebut dicari dengan cara berjualan koran, dan menjual jasa dengan membawakan tas-tas belanja ibu-ibu yang baru belanja dari pasar, dan akhirnya kami membuat kios koran dengan nama anak rembulan. Kami juga mengaji di musola dekat pasar. Setelah aku ceritakan tentang latar belakangku kepada Dado dan teman-teamn yang lain, aku dan Dado mencari informasi tentang di mana bapakku di penjara. Ternyata bapakku di penjara di rumah tahanan Cipinang. Aku dan Dado menengok bapakku. Aku ceritakan kepada bapakku tentang tas yang dulu diberikan kepada aku, bahwa tas itu masih aku simpan di gudang.
Di penjara bapakku terserang sakit hepatitis. Tiga hari setelah menengok bapak, ada mobil polisi yang berhenti di dekat kios kami. Polisi tersebut mencariku. Mereka memintaku untuk mengambil tas yang ternyata berisi berlian. Akhirnya bapakku dibebaskan, tetapi masih dirawat di rumah sakit karena penyakitnya.
Pada suatu hari aku menjual jasa untuk membawakan barang hasil belanja ibu-ibu di pasar. Ketika aku sedang membawakan tas belanja seorang ibu-ibu, beliau menyapaku. Beliau kenal aku, karena pada waktu aku membawakan tas belanjanya dulu, aku pernah menolongnya. Waktu itu mobil yang dikendarai beliau diparkir dekat pasar, dan diincar oleh pencuri. Tetapi niat pencuri tersebut aku gagalkan. Ternyata pencuri tersebut mengincar tape recorder yang ada di mobil. Karena kejadian itu, akhirnya aku diangkat sebagai anak oleh keluarga Bu. Hartono. Aku disekolahkan oleh Pak Hartono. Setelah aku ceritakan tentang latar belakang aku, mereka membantu aku untuk mempertemukan aku dengan keluargaku. Berkat kebaikan Pak Hartono dan Bu hartono, aku dapat bertemu ibu, nenek, Eyang Widyastutu (ibu Kusumo).
Akhirnya setelah berpisah dengan teman-temanku, dan keluarga Pak Hartono, aku pulang ke Jogja bersama Eyang Widyastuti dan bapak. Sayang pada waktu itu, ibuku tidak bisa berkumpul, karena telah menjadi TKW di Arab Saudi. Di Jogja penyakit bapakku semakin parah, dan akhirnya meninggal ketika perjalanan menuju rumah sakit. Setelah itu aku diminta oleh eyang Widyastuti untuk menandatangani surat penyerahan seluruh warisan Eyang Kakung dan Eyang Putri.
Akhir cerita ini, setelah satu tahun hidup di Jogja, aku menerima kabar bahwa ibuku juga meninggal di Arab Saudi. Kematiannya misterius, karena tidak dijelaskan oleh pengirim tenaga kerja. Bahkan jenazahnya tidak bisa dikirim ke Indonesia, dan akhirnya dimakamkan di Arab Saudi. Setelah selesai shalat aku selalu berdoa untuk kedua orang tuaku. Kini aku menjalani hidup dengan Eyang Widyastuti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar